Minggu, 16 Maret 2008

Visit Musi 2008: Pulau Kemaro dan Kucing Garong

Di Pulau Kemaro pun Ada Kucing Garong

Jika pergi mengunjungi Danau Toba, belum puas jika tak mengunjungi Pulau Samosir. Jika mengarungi Sungai Musi, belum lengkap jika tak singgah ke Pulau Kemaro.

Demikian ungkapan yang disampaikan seorang teman sebelum saya berangkat ke Palembang. Nama Pulau kemaro muncul karena pulau itu yang tidak pernah tergenang air, walaupun air pasang besar. Bukan hal itu yan benar-benar menjadi daya tarik, tapi sebuah legenda yang melatari keberadaan pulau itulah yang kerap membuat banyak orang penasaran.

Pulau ini sering dikaitkan dengan legenda cinta Siti Fatimah, putri Raja Palembang, yang dilamar oleh anak Raja Cina yang bernama Tan Bun Ann. Syarat yang diajukan Siti Fatimah pada Tan Bun Ann adalah menyediakan 9 Guci berisi emas, keluarga Tan Bun Ann menerima syarat yang diajukan.

Untuk menghindar bajak laut saat diperjalanan membawa emas dari negeri China maka emas yang di dalam guci tersebut ditutupi dengan asinan dan sayur. Saat kapal tersebut tiba di Palembang, Tan Bun Ann memeriksa guci tersebut berisi asinan dan sayur. Dengan rasa marah dan kecewa maka seluruh guci tersebut dibuangnya ke sungai Musi. Ketika guci yang terakhir terhempas pada dinding kapal dan pecah berantakan, terlihatlah kepingan emas yang ada didalamnya.

Rasa penyesalannya membuat anak raja China tersebut mengambil keputusan untuk menerjunkan diri ke Sungai dan tenggelam. Melihat hal tersebut Siti Fatimah ikut menerjunkan diri ke sungai sambil berkata, ”Jika ada tanah tumbuh di tepi sungai ini maka disitulah kuburan saya.”

Untuk mencapai Pulau Kemaro, wisatawan dapat memanfaatkan ketek dan speedboat di sekitar Jembatan Ampera. Jangan berharap pada kapal wisata milik pemda yang tidak jelas jam berangkatnya. Cobalah untuk menwar setiap harga yang diberikan.

Saat saya berkunjung ke Pulau Kemaro, (7/3) sebetulnya adalah hari libur Nyepi. Tapi wisatawan yang datang tidak begitu banyak. Menurut keterangan Fandi yang bekerja sebagai juru mudi speedboat, Pulau Kemaro hanya ramai saat perayaan Imlek atau penutupan Imlek (Cap Go Meh). Bahkan pemda membuat jalan dari Pusri menuju Pulau tersebut dengan sambungan tronton.

Semula saya membayangkan di Pulau Kamaro terdapat kios-kios souvenir yang menunjang kisah legenda Pulau Kemaro. Entah buku, lukisan, hiasan dinding, kaos, atau apapun. Tapi yang ada warung-warung penjual minuman ringan. Jadi cindera mata yang bias kita peroleh adalah foto-foto yang diambil sendiri oleh wistawan.

Di Pulau Kamaro, wistawan bisa melihat Kelenteng Hok Tjing Bio. Kelenteng ini unik, bukan hanya karena karakternya yang hybrid, namun terutama karena arahnya yang menghadap ke kiblat, mengikuti arah makam Siti Fatimah. Gaya arsitektur campuran Cina – Palembang – Jawa – Arab – India nampak jelas dari ornamen, patung, warna, struktur, serta detil bangunannya. Asap dupa mengepul dari batang-batang hio raksasa yang ditancapkan berjajar di poros kelenteng, mengiringi bubungan asap pembakaran kertas. Kertas-kertas itu bertuliskan harapan, permohonan, dan doa syukur masyarakat, yang dibakar pada pagoda segi delapan beratap kubah ala Masjid di ujung Pulau Kemaro. Sebagian orang percaya dengan mendatangi kuil tersebut akan semakin melancarkan jodoh dan rejeki.

Umumnya, umat yang datang ke Pulau Kemaro untuk bersembahyang ke Thien yang berada di halaman depan kelenteng, dilanjutkan ke makam buyut Siti Fatimah di ruang depan Kelenteng Hok Tjing Bio, lalu ke altar Dewa Bumi yang berada di tengah ruangan kelenteng, dan ke altar dewa-dewa lainnya yang berada di ruang bagian belakang kelenteng. Terakhir, membakar kertas kim coa.

Selain itu, kita dapat melihat keindahan sebuah pagoda sembilan atap yang menjulang tinggi. Pagoda tersebut telah diresmikan Gubernur pada 20 Februari lalu. Tapi ketika saya berkunjung, pagoda tersebut ditutup. Yang agak menggelikan adalah papan pengumuman yang dipasang di depan pagoda sangat minimalis. Mengapa tidak dibuat resmi?

Satu kalimat yang membuat saya semakin geli adalah tulisan agar pengunjung pagoda hati-hati terjadap kucing garong. Tentu saja yang dimaksud bukan bukan kucing sungguhan, tapi pencopet. Terkait dengan hal ini, saya jadi ingat Fathin, warga Palembang yang menemani saya di Palembang. Dia berkali-kali mengingatkan saya agar saya berhati-hati dengan kamera yang saya bawa.

Paling tidak, papan itu mengingatkan saya untuk waspada. Apalagi, saat saya berkunjung saya tidak melihat ada petugas keamanan di sekitar pagoda.

Dari Pulau kemaro ini kita dapat menikmati pemandangan sekitar Musi antara lain Pabrik Pusri dan kilang-kilang minyak Pertamina. Sungguh menarik ….

(bhai)

Tidak ada komentar: