Kamis, 10 April 2008

Visit Kuala Lumpur 2008

Ke kuala lumpur ngapain?

1. Kotanya bersih. Disiplin. Sayang jalan-jalannya sepi.


2. Makanannya Asia banget, yang lokal Melayu malah nggak asyik. Arab, Cina, India, dan Indonesia tentunya.


3. Petronas. Udah nggak ada duanya kali.

Pesta Buku Kuala Lumpur 2008





Buku adalah Jendela Dunia.
Maka datanglah ke pesta jendela itu. Banyak hal yang menarik di sana.

Ada pameran komik yang lucu-lucu.
Buku-buku import yang relatif murah.
Buku-buku anak dengan kemasan yang variatif.

Buku adalah simbol pengetahaun.
Bodoh sekali pemerintah yang mengabaikan buku.
Mereka tidak mengagendakan pameran buku, juga bazar buku murah dalam program promosi wisata kota mereka.

Jumat, 21 Maret 2008

Pentingnya Product Knowledge


Agak membingungkan juga ketika saya bertanya kepada beberapa orang yang saya temui, apakah mereka tahu tentang sejarah Pulau Kemaro. Mereka umumnya tidak bisa menjawab, bahkan mengunjungi Pulau Kemaro pun belum. Juga ketika diminta komentar mengenai bagaimana rasanya naik kapal wisata Puteri kembang Dadar, mereka juga tidak bias menjelaskan. Bahkan obyek-obyek wisata di Palembang selain yang ada di kawasan Jembatan Ampera nyaris tidak dikenali.

“Oh, ternyata gedung ini jadi Museum Tekstil ya sekarang,” kata Yayan, warga Palembang ketika mengantar saya berkeliling kota.

Bagi saya, agak aneh jika warga asli Palembang tidak faham betul info produk wisata di daerahnya. Apakah mereka salah?

Peran pemerintah untuk lebih mensosialisasikan obyek-obyek wisata di Palembang dan Sumsel pada umumnya tentunya sangat dituntut banyak. Apalagi wisatawan berkunjung tidak selalu dengan mudah mendapat pemandu wisata. Bersyukur jika wisatawan yang mengikuti paket tour, tapi yang tidak akan sangat bergantung dengan masyarakat atau relasi yang dikenalnya.

Dengan begitu, masyarakat harus dibekali betul dengan pengetahuan produk wisata di Sumsel. Dengan begitu, informasi yang sampai ke wistawan benar-benar lengkap.

Tentang obyek-obyek wisata bisa disosialisasikan melalui sekolah-sekolah. Ajaklah siswa-siswa sekolah wisata gratis ke berbagai obyek wisata. Jadikan mereka sebagai ujung tombak yang kelak akan menjadi penyebar informasi ihwal obyek wisata Sumsel. Ajak mereka menulis di blog-blog Internet ataupun di media nasional sehingga pengetahuan produk wisata yang mereka peroleh diteruskan secara meluas.

Pemahaman pengetahuan produk wisata Sumsel juga bisa melibatkan kaum Ibu. Ajaklah Ibu-ibu yang trehimpun dalam organisasi kemasyarakatan dan keagamaan untuk wisata gratis ke beberapa obyek wisata. Beri pengetahuan yang mendalam tidak hanya obyek wisata besar, tapi juga wisata belanja dan wisata kuliner. Calon wisatawan akan mudah dibujuk bila informasi disampaikan soal wisata belanja dan wisata kuliner oleh ibu-ibu.

Jangan sampai ibu-ibu tidak mengerti kawasan industri songket atau bagaimana membeli songket yang murah tapi asli.

Info soal pariwisata di media pun harus terus menerus. Jangan setengah-setengah. Baik melalui media cetak maupun elektronik. Jangan sampai berita yang terkait dengan pariwisata malah tergusur berita lainnya. Seperti yang terjadi pada 9 Maret lalu. Jebetulan ada dua peristiwa yang cukup banyak mengundang masa. Satu, ihwal lomba festival masakan Melayu di lapangan Bumi sriwijaya yang merupakan ahenda Visit Musi 2008. satunya lagi, pentas Krisdayanti sehubungan promosi produk kecantikan di Palembang Square.

Esoknya di koran-koran, yang menjadi berita justru kedatangan Krisdayanti.

Jika warganya saja tidak tahu apa-apa tentang obyek wisata, atau tidak tertarik dengan agenda Visit Musi 2008, bagaimana dengan calon wistawan?

(bhai)

Kamis, 20 Maret 2008

Bukan Hanya Musi dan Mpek-Mpek

Mengapa tahun kunjungan ke Sumateraselatan tahun ini diberi nama Visit Musi 2008? Apakah jauh-jauh wisatawan datang hanya akan disuguhi panorama Sungai Musi? Tidak adakah obyek wisata lainnya sehingga semua harus tertumpu di nama besar Sungai Musi?

Demikian halnya dengan jenis kuliner yang selalu diandalkan Sumsel. Mengapa selalu mpek-mpek? Tidak bisakah mengangkat jenis makanan lainnya, sehingga wisatawan yang datang tak hanya sekadar membawa oleh-oleh mpek-mpek yang di kota-kota lain pun sudah menjamur.

Sesungguhnya, jika Pemda Sumsel jeli, maka wisata kuliner bisa menjadi komoditi primadona di Palembang. Tengoklah beberapa jenis makanan di Palembang yang begitu populer, selain mpek-mpek tentunya. Mulai dari Mie Celor, Martabak Har, pindang tulang, pindang yang rasanya asam-asam segar karena ditambah nanas, pentung daging (bola-bola daging giling berbumbu abon), brengkes (pepes), sate ikan (gilingan ikan yang dibumbui dan dicampur telur lalu dibungkus daun dan dikukus), dan sambal kemang atau mangga muda.

Tak Terurus

Berdasarkan informasi yang berseliweran di Internet, Palembang memiliki sejumlah obyek wisata yang tak hanya keindahan Sungai Musi. Masih di sekitar Jembatan Ampera, wisatawan dapat melihat museum dan masjid agung yang namanya sama dengan bandara internasional Palembang. Tanpa mengecilkan penghargaan masyarakat dan pemerintah kepada Sultan Mahmud Badaruddin, mungkin nama museum dan masjid agung ini dapat diubah dengan nama tokoh sejarah lainnya.

Saat saya mengunjungi Museum SMB II di siang hari, museum tutup. Saya hanya bias melihat keindahan desain arsitektur museum tersebut. Tangga teratainya indah sangat cocok untuk berfoto. Sayang di sayap kiri bangunan terdapat arca yang kurang terawatt, ditambah sampah yang bertebaran di sekitarnya. Warung/kantin di dekat sana juga sedikit mengurangi keindahan.

Di sekitar jembatan Ampera juga terdapat monument Ampera dan Plaza Benteng Kuto Besak. Selain itu, bagi penggemar wisata sejarah pula mengunjungi kompleks makam raja-raja di Bagus Kuning, Kampung kapiten, Masjid Ki Merogan dan Taman Purbakala Kerajaan Sriwijaya.

Jika berkunjung ke Palembang, ada hal aneh yang tak begitu saya rasakan, yakni nama besar Kerajaan Sriwijaya yang seolah tenggelam. Padahal, dalam buku sejarah, juga kisah-kisah dikaitkan dengan kebesaran nama kerajaan lain di Jawa, misalnya, Kerajaan Sriwijaya sangatlah besar.

Semula, saya berharap dengan bertandang ke Palembang dapat merasakan banyak jejak-jejak Kerajaan Sriwijaya yang naman dikibarkan oleh satu maskapai penerbangan, pabrik pupuk, universitas negeri, dan kesebelasan sepakbola. Sayangnya, kondisi Taman Purbakala Kerajaan Sriwijaya (TPKS) di Palembang, memprihatinkan. Padahal, TPKS bukan sekadar cagar budaya, tetapi juga berpotensi menjadi lokasi wisata air dan rekreasi keluarga. Kawasan TPKS senyap tanpa sarana pendukung rekreasi seperti cendera mata.

“Terbengkalainya TPKS sangat disayangkan. Padahal tempat ini bisa jadi sarana rekreasi keluarga sekaligus tempat belajar sejarah,” ucap Heri, mahasiswa Universitas Sriwijaya.

Padahal, selain bernilai budaya tinggi, TPKS merupakan aset yang dibangun dengan biaya besar. Kawasan itu merupakan rekonstruksi taman Kerajaan Sriwijaya yang terdiri dari beberapa kolam, pulau buatan, dan alur-alur kanal yang menyambung ke Sungai Musi. Beragam peninggalan arkeologis, antara lain prasasti Kedukan Bukit tahun 682 Masehi, ditemukan di situs ini.

Jangan-jangan di masa mendatang, warga Palembang malah tidak tahu bahwa dulunya pernah berdiri kerajaan besar Sriwijaya. Dan menganggap Sriwijaya adalah nama pabrik pupuk semata.

Wisata Malam & Kuliner

Jumlah besarnya wisatawan yang datang, dianggap baik bukan hanya tingkat kunjungan. Mereka juga harus diukur dari lama tinggal berwisata di Palembang. Dan untuk membuat wisatawan betah, maka mereka harus terus disodori atraksi ataupun obyek wisata, termasuk di malam hari.

“Wisata malam di Palembang itu cuma nonton air mancur. Itu pun kadang-kadang lampunya mati,” ucap Wen Xing, warga Palembang. Menurutnya, wisata malam di Palembang agak sulit dikembangkan terkait dengan kriminalitas kota yang rawan.

“Helm di parkiran motor bisa hilang, gimana mau wisata malam? Belum lagi kalau ada keramaian sering ada penusukan. Kesenggol dikit main tusuk. Macam Texas saja,” tambah Wen Xing.

Namun, Wen Xing berpendapat sebenarnya dapat digali potensi malam di Palembang. “Kalau siang wistawan sering kepanasan jalan di Palembang, jadi bisa jalan malam. Misalnya melihat keindahan Musi di malam hari atau wisata kuliner di malam hari. Tapi di Palembang ini tempat-tempat makan cepat tutupnya. Belum pukul sembilan sudah tutup,” kata pengusaha muda yang sering wisata ke kawasan Pagar Alam yang sejuk atau sekalian ke Singapura.

Alhasil, tempat-tempat hiburan malam yang buka tak ada bedanya dengan kota-kota besar lainnya, seperti tempat biliar, karaoke atau arena dugem. Selain menyediakan sarana, sebaiknya pemda bisa bekerjasama dengan kepolisian untuk mennyiapkan pasukan khusus polisi pariwisata seperti di Bandung, Jakarta dan beberapa kota wisata lainnya.

Cara lain untuk membuat wisatawan betah adalah memanjakan perut mereka dengan hidangan khas yang lezat tentunya. Syuku-syukur bila harganya murah.

Di manapun, Palembang sanget dikenal dengan makanan khasnya mpek-mpek. Saya sendiri kagum, karena orang Palembang sangat menyukai mpek-mpek dan variannya. Bahkan sampai di jalan-jalan orang bisa makan mpek-mpek dari penjual gendongan. Tapi benarkah tidak ada makanan lain yang dapat dinikmati wisatawan?

Adalah Martabak HAR yang namanya belakangan begitu popular bagi penggemar jajanan. Kendati di beberapa kota sudah ada tiruannya (di Jakarta ada di kawasan Roxy dan belakanga Gedung Lion), saya penasaran untuk mencicipi langsung martabak Har di Jalan Sudirman itu.

Buat saya pribadi yang tak begitu menyukai telur, makanan ini terasa khas Palembang. Padahal, konon makanan ini asalnya dari India. Memang di India ada makanan sejenis ini brenama papper prata. Tapi hidangan HAR ini sudah diolah sedemikian rupa hingga sesuai dengan lidah orang Melayu.

Dengan harga relative murah di bawah Rp10 ribu, makanan ini bisa menjadi pilihan favorit wisatawan selain mpek-mpek. Malah dapat digembor-gemborkan, belum berkunjung ke Palembang jika belum mencicipi Martabak HAR ini. Cara penyajian yang dicampur kuah dan martabak ataukah dipisah juga sebuah alternatif yang baik. Buat pemula, sebaiknya memang ditawarkan terpisah dulu agar tidak kaget dengan citra rasa kuahnya.

Alternatif lain wisata kuliner adalah Mie Celor 26. Meskipun kedainya amat bersahaja, tapi olahan makanan dari mie dan (lagi-lagi) telor ini sangan potensial mengangkat nama Palembang.

Seandainya tingkat kepedulian pemerintah tinggi terhadap wisata kuliner Palembang, akan lebih baik jika tempat-tempat kuliner diperhatikan dengan baik. Sebaiknya lokasi tidak dipindahkan atau dibuat modern yang malah akan menghilangkan nuansa aslinya, tapi sarana pendukung saja yang dibenahi, misalnya sarana parkir.

Terbitkan Buku

Agar lebih memasyarakat lagi, pemda dapat bekerjasama dengan penulis dan penerbit membuat beberapa buku misalnya tentang kumpulan resep masakan khas Palembang ataupun Sumateraselatan, bisa juga membuat buku tentang legenda dan dongeng-dongeng yang terkait dengan obyek wisata. Sebab tidak sedikit orang yang tertarik mendatangi sebuah tempat karena ada legenda dibaliknya.

Sumateraselatan memiliki banyak warganya yang telah menjadi penulis terkenal. Mengapa tidak diundang atau diminta mereka untuk menulis tentang Palembang?

Minggu, 16 Maret 2008

Visit Musi 2008: Pulau Kemaro dan Kucing Garong

Di Pulau Kemaro pun Ada Kucing Garong

Jika pergi mengunjungi Danau Toba, belum puas jika tak mengunjungi Pulau Samosir. Jika mengarungi Sungai Musi, belum lengkap jika tak singgah ke Pulau Kemaro.

Demikian ungkapan yang disampaikan seorang teman sebelum saya berangkat ke Palembang. Nama Pulau kemaro muncul karena pulau itu yang tidak pernah tergenang air, walaupun air pasang besar. Bukan hal itu yan benar-benar menjadi daya tarik, tapi sebuah legenda yang melatari keberadaan pulau itulah yang kerap membuat banyak orang penasaran.

Pulau ini sering dikaitkan dengan legenda cinta Siti Fatimah, putri Raja Palembang, yang dilamar oleh anak Raja Cina yang bernama Tan Bun Ann. Syarat yang diajukan Siti Fatimah pada Tan Bun Ann adalah menyediakan 9 Guci berisi emas, keluarga Tan Bun Ann menerima syarat yang diajukan.

Untuk menghindar bajak laut saat diperjalanan membawa emas dari negeri China maka emas yang di dalam guci tersebut ditutupi dengan asinan dan sayur. Saat kapal tersebut tiba di Palembang, Tan Bun Ann memeriksa guci tersebut berisi asinan dan sayur. Dengan rasa marah dan kecewa maka seluruh guci tersebut dibuangnya ke sungai Musi. Ketika guci yang terakhir terhempas pada dinding kapal dan pecah berantakan, terlihatlah kepingan emas yang ada didalamnya.

Rasa penyesalannya membuat anak raja China tersebut mengambil keputusan untuk menerjunkan diri ke Sungai dan tenggelam. Melihat hal tersebut Siti Fatimah ikut menerjunkan diri ke sungai sambil berkata, ”Jika ada tanah tumbuh di tepi sungai ini maka disitulah kuburan saya.”

Untuk mencapai Pulau Kemaro, wisatawan dapat memanfaatkan ketek dan speedboat di sekitar Jembatan Ampera. Jangan berharap pada kapal wisata milik pemda yang tidak jelas jam berangkatnya. Cobalah untuk menwar setiap harga yang diberikan.

Saat saya berkunjung ke Pulau Kemaro, (7/3) sebetulnya adalah hari libur Nyepi. Tapi wisatawan yang datang tidak begitu banyak. Menurut keterangan Fandi yang bekerja sebagai juru mudi speedboat, Pulau Kemaro hanya ramai saat perayaan Imlek atau penutupan Imlek (Cap Go Meh). Bahkan pemda membuat jalan dari Pusri menuju Pulau tersebut dengan sambungan tronton.

Semula saya membayangkan di Pulau Kamaro terdapat kios-kios souvenir yang menunjang kisah legenda Pulau Kemaro. Entah buku, lukisan, hiasan dinding, kaos, atau apapun. Tapi yang ada warung-warung penjual minuman ringan. Jadi cindera mata yang bias kita peroleh adalah foto-foto yang diambil sendiri oleh wistawan.

Di Pulau Kamaro, wistawan bisa melihat Kelenteng Hok Tjing Bio. Kelenteng ini unik, bukan hanya karena karakternya yang hybrid, namun terutama karena arahnya yang menghadap ke kiblat, mengikuti arah makam Siti Fatimah. Gaya arsitektur campuran Cina – Palembang – Jawa – Arab – India nampak jelas dari ornamen, patung, warna, struktur, serta detil bangunannya. Asap dupa mengepul dari batang-batang hio raksasa yang ditancapkan berjajar di poros kelenteng, mengiringi bubungan asap pembakaran kertas. Kertas-kertas itu bertuliskan harapan, permohonan, dan doa syukur masyarakat, yang dibakar pada pagoda segi delapan beratap kubah ala Masjid di ujung Pulau Kemaro. Sebagian orang percaya dengan mendatangi kuil tersebut akan semakin melancarkan jodoh dan rejeki.

Umumnya, umat yang datang ke Pulau Kemaro untuk bersembahyang ke Thien yang berada di halaman depan kelenteng, dilanjutkan ke makam buyut Siti Fatimah di ruang depan Kelenteng Hok Tjing Bio, lalu ke altar Dewa Bumi yang berada di tengah ruangan kelenteng, dan ke altar dewa-dewa lainnya yang berada di ruang bagian belakang kelenteng. Terakhir, membakar kertas kim coa.

Selain itu, kita dapat melihat keindahan sebuah pagoda sembilan atap yang menjulang tinggi. Pagoda tersebut telah diresmikan Gubernur pada 20 Februari lalu. Tapi ketika saya berkunjung, pagoda tersebut ditutup. Yang agak menggelikan adalah papan pengumuman yang dipasang di depan pagoda sangat minimalis. Mengapa tidak dibuat resmi?

Satu kalimat yang membuat saya semakin geli adalah tulisan agar pengunjung pagoda hati-hati terjadap kucing garong. Tentu saja yang dimaksud bukan bukan kucing sungguhan, tapi pencopet. Terkait dengan hal ini, saya jadi ingat Fathin, warga Palembang yang menemani saya di Palembang. Dia berkali-kali mengingatkan saya agar saya berhati-hati dengan kamera yang saya bawa.

Paling tidak, papan itu mengingatkan saya untuk waspada. Apalagi, saat saya berkunjung saya tidak melihat ada petugas keamanan di sekitar pagoda.

Dari Pulau kemaro ini kita dapat menikmati pemandangan sekitar Musi antara lain Pabrik Pusri dan kilang-kilang minyak Pertamina. Sungguh menarik ….

(bhai)

Sabtu, 15 Maret 2008

Wajah Musi Kiwari



Wajah Musi Kiwari

Apa kabar Sungai Musi? Tanpa Musi, sepertinya kota Palembang tak akan sehidup sekarang. Seperti Mesir tanpa Sungai Nil. Tidak aneh jika program wisata provinsi Sumsel kali ini menyeret-nyeret nama Musi. Sebab apalagi yang dapat dijadikan maskot wisata Provinsi Sumsel.

Sasaran utama wisatawan ketika ke Palembang adalah melongok sungai yang panjangnya 460 Km membelah Provinsi Sumatera Selatan dari timur ke barat itu. Terutama di kawasan sekitar Jembatan Ampera.

Jika tanpa pemandu orang Palembang mungkin saya akan kebingungan jalan-jalan di sekitar Musi, Jumat (7/3). Setelah memarkir mobil di sekitar Benteng Kuto Besak, wisatawan tidak akan langsung mendapat petunjuk harus ke mana untuk mengarungi Musi. Tak ada papan-papan petunjuk informasi yang membimbing wisatawan seperti yang biasanya ketika kita berada di daerah tujuan wisata.

Sebelum sampai ke dermaga tempat bersandarnya KM Putri Kembang Dadar, wisatawan akan banyak didatangi tukang-tukang ketek dan speedboat yang menawari jasa mereka dengan bermacam harga. Cukup getol juga usaha mereka merayu wisatawan walaupun tak sampai memaksa.

Ternyata bukan hal mudah untuk menikmati fasilitas kapal pemda itu. Selain harus merogoh saku sebesar Rp70 ribu per orang, kita juga harus bersabar menunggu kapal penuh hingga lebih dari 70 orang. Ketidakjelasan waktu keberangkatan KM Putri Kembang Dadar yang sering disebut-sebut di Internet itu, sering membuat wisatawan menelan pil kecewa. Alhasil, buat wisatawan yang tak punya waktu banyak harus mencari alternatif lain, yakni perahu ketek dan speedboat.

Udin (25) yang bekerja tiga tahun sebagai penarik ketek menawarkan harga Rp70 ribu untuk pulang pergi dengan keteknya. Menurutnya, harga itu sudah harga murah karena kebetulan sedang sepi. Biasanya kalau ramai, dia akan memasang tarif di atas Rp100 ribu untuk borongan ketek. Waktunya dibatasi tidak lebih dari setengah jam.

Sementara itu, Ali (30) menawarkan harga Rp150 ribu untuk speedboatnya. Setelah melalui tawar menawar akhirnya disepakati harga Rp120 ribu untuk pulang pergi ke Pulau Kemaro. Harga ini bisa diperoleh wistawan bila bepergian dengan orang Palembang dan bisa bahasa setempat sehingga tawar menawar lebih alot. Untuk wisatawan yang tidak didampingin penduduk local, siap-siap saja harus merogoh saku hingga Rp200 ribu untuk paket pulang pergi ke Pulau Kemaro menggunakan speedboat.

Jadi, tips agar wisatawan untuk naik perahu di Sungai Musi, ajaklah teman warga Palembang yang dapat berbahasa setempat. Apalagi orang Palembang terkenal sangat pintar menawar harga.

Bau Pesing

Satu hal yang amat menganggu ketika berjalan-jalan di sekitar kolong jembatan Ampera adalah aroma tak sedap alias bau pesing. Apalagi jika berjlaan ke sekitar putaran jalan angkot. Siapapun bisa melihat beberapa supir angkot kencing sembarangan. Meskipun ada beberapa WC umum berdiri, sepertinya kesadaran untuk menggunakan fasilitas umum itu belum tinggi.

Bukan hanya bau pesing, mulai dari pelataran BKB hingga pangkal (bawah Ampera) jarang kita temui tong sampah. Sangat sulit buat beberapa orang yang ingin membuang sampah. Untungnya ada beberapa petugas kebersihan yang rajin menyapu. Tapi untuk mendidik masyarakat, sebaiknya sediakan lebih banyak lagi tong sampah, agar tidak menunggu disapu petugas atau terbuang ke Sungai musi.

Bau pesing juga akan tercium bila kita berjalan sampai ke pelataran pasar 16 ilir. Pemandangan orang buang air kecil sembarangan sepertinya hal yang biasa di sekitar deretan perahu-perahu itu. Sepertinya, pemda setempat benar-benar harus menerapkan aturan yang melarang orang-orang buang air kecil di sekitar jembatan Ampera.

Sementara eceng gondok pun merayapi sisi sungai Musi, bersaing dengan sampah-sampah non-organik.

“Sebenarnya kawasan ini sudah dibersihkan dari eceng gondok. Tapi tidak bisa dihilangkan begitu saja akrena ada kiriman eceng gondok terus menerus dari hulu sungai,” kata Mulyadi, seorang warga Palembang.

Dan di antara perahu-perahu, bau pesing, eceng gondok, kita masih dapat melihat anak-anak Palembang berenang riang di Sungai Musi bertelanjang dada.

Warung Terapung

Di antara deretan kapal-kapal kecil yang merapat di kawasan 16 Ilir, kita akan menemukan sejumlah warung terapung. Jika memiliki kocek lebih, wisatawan silakan mengunjungi restoran terapung legenda yang sangat terkenal namanya di Internet. Tapi saya tidak tertarik ke legenda karena rekomendasi teman-teman saya soal kualitas rasa yang tak sebanding dengan harganya di restoran itu.

Wistawan dapat merasakan pengalaman makan dan minum di atas sungai Musi dengan masuk ke warung-warung terapung yang terdapat di sana. Salah satunya adalah Warung Nasi Sri.

Warung terapung milik Sri ini baru berdiri sekitar dua tahun. “Sebelumnya saya sudah dagang di darat sejak 25 tahun lalu. Tapi ketika ada ‘badai Santana’ kami harus pindah ke sini,” kata . Badai Santana yang dimaksud adalah kebijakan Walikota Palembang Santana untuk membersihkan kawasan kolong Jembatan Ampera pada 2005, yang berdekatan dengan datangnya Tsunami di Aceh.

Apa yang khas di warung Sri selain goyangan perahunya?

“Makanan istimewa kami adalah pindang ikan. Pindang ayam dan pindang tulang. Biasanya sih yang beli ya orang-orang dari pasar 16 ilir atau dari ketek-ketek. Ada juga dari wisatawan,” kata Sri.

Bagi wisatawan yang baru berkunjung ke Musi, ada baiknya memang menanyakan lebih dulu harga makanan yang akan disantapnya. Seperti diakui Sri sendiri, dia menjual pindang ikan seharga Rp15 ribu kepada tamu yang datang seperti wistawan. Padahal biasanya dia hanya menjual Rp7 ribu.

Entah alasan apa dia harus memberi harga tinggi kepada wistawan. Padahal, sebagai tamu, mestinya wistawan dijamu dengan baik. Bukannya malah diporoti.

Menurut Raphael Alexander (29) warga Cindei, Palembang, harga-harga di warung terapung memang terbilang mahal. Bukan hanya untuk wisatawan, tapi juga buat orang lokal sepertinya. Dia mengaku sempat kecele dengan segelas kopi seharga Rp2 ribu, padahal biasanya hanya Rp1000.

Nak mati nian. Negiti rego sampe mak itu. Lemakla meli kopi dewek, muat dewek,” tambah Raphael.

(bhai)

Visit Musi 2008: Minim Informasi




Rasa penasaran dengan program Visit Musi 2008, mendorong saya bergegas mengunjungi kota Palembang. Seperti apakah pelaksanaan program Visit Musi 2008 yang pembukaannya saja sudah menelan biaya lebih dari 3 milyar itu?

Keberangkatan saya diawali dari kota Bandung pada Kamis (6/3). Tak begitu banyak bekal informasi yang saya bawa untuk ke Palembang. Pertama, karena official website (situs resmi) Visit Musi 2008 yang saya akses tidak banyak membantu. Kedua, beberapa orang Palembang yang saya tanya tentang program Visit Musi 2008 pun tidak terlalu optimis tentang program Visit Musi 2008.

"Datang saja sendiri ke Palembang. Lihatlah Sungai Musi. Jangan terlalu banyak ekspektasi. Palembang hanya kota tua yang menawarkan wisata sungai dan wisata sejarah," ucap Dewi Cendika, warga Tangerang dari Palembang yang pada Januari 2008 sempat pulang kampung.
Tentu saja saya tidak mau mengunjungi Palembang tanpa ekspektasi. Apalagi pemerintah daerah Sumatera Selatan telah menjalankan suatu program wisata yang tidak main-main. Maka yang terbayang di benak saya adalah sebuah paket wisata lengkap di seputar Sungai Musi, juga obyek wisata lainnya di kota Palembang dan sekitarnya.

Saya berangkat naik pesawat Merpati yang terbang langsung ke Bandung. Dari buletin internal di pesawat, saya membaca bahwa penerbangan Palembang-Bandung dibuka kembali oleh Merpati untuk menunjang program Visit Musi 2008. Artinya, warga kota Bandung juga menjadi target program Visit Musi 2008.

Jika demikian, mengapa tidak ada informasi yang memadai ihwal Visit Musi 2008 ini di Bandung? Bahkan tidak ada brosur ataupun leaflet di area Bandara Hussen Sastranegara sebagai salah satu sarana promosi. Jika humas program Visit Musi 2008 mau menggalakkan programnya, bisa pula memanfaatkan koran-koran gratis yang beredar di Bandung sebagai media informasi dan promosi.

Di Jakarta, kampanye program yang menyedot biaya 5 milyar rupiah ini memang terasa di area bandara. Selain baliho, juga video. Tapi di Bandung, kampanye Visit Musi 2008 sama sekali tak bergaung.

Alih-alih meyedot wisatawan dari Bandung ke Palembang, malah warga Sumsel yang berbondong-bondong jalan-jalan ke Bandung. Itu bisa saya lihat dari serombongan anggota DPR di dalam pesawat yang memborong banyak oleh-oleh. Bahkan beberapa orang di pesawat itu mengaku warga Palembang.

"Saya sih asli Palembang. Ke Bandung abis jalan-jalan sekalian nengok saudara," kata Siska (45) yang mengaku sering ke Bandung.

Pun, seandainya panitia pelaksana Visit Musi 2008 sudah mengantungi kerja sama dengan maskapai penerbangan Merpati, bisa membuat katalog pariwisata di belakang kursi pesawat sehingga penumpang yang merupakan calon wisatawan bisa mendapat informasi yang cukup.


Siapkah?


Saya terkesan ketika tiba di Bandara SM. Badaruddin II, Palembang. Kesan yang baik, karena bandara ini jauh lebih bagus ketimbang Bandara Husein Bandung. Fasilitasnya juga terbilang modern. Namun di Bandara ini pun saya tak membaca gegap gempitanya program Visit Musi 2008. Hanya ada beberapa papan bertuliskan Visit Musi 2008. Saya mencoba mencari-cari brosurnya, tapi tidak menemukan.

Ketika saya menuju kota Palembang, saya mulai menemukan beberapa baliho Visit Musi 2008. Tapi semua itu terkalahkan ulah semaraknya spanduk, poster dan segala media kampanye pemilihan kepala daerah. Bahkan saya menemukan baliho besar Visit Musi 2008 yang membentang di Jembatan Ampera dengan sosok pimpinan daerah yang juga tengah berkampanye untuk pemilihan Gubernur. Informasi Visit Musi 2008 jadi tenggelam.

Saya jadi bertanya-tanya, sebenarnya sudah siapkan Palembang menjalankan program Visit Musi 2008 ini? Atau ini memang program yang terburu-buru?

(bhai)