Kamis, 20 Maret 2008

Bukan Hanya Musi dan Mpek-Mpek

Mengapa tahun kunjungan ke Sumateraselatan tahun ini diberi nama Visit Musi 2008? Apakah jauh-jauh wisatawan datang hanya akan disuguhi panorama Sungai Musi? Tidak adakah obyek wisata lainnya sehingga semua harus tertumpu di nama besar Sungai Musi?

Demikian halnya dengan jenis kuliner yang selalu diandalkan Sumsel. Mengapa selalu mpek-mpek? Tidak bisakah mengangkat jenis makanan lainnya, sehingga wisatawan yang datang tak hanya sekadar membawa oleh-oleh mpek-mpek yang di kota-kota lain pun sudah menjamur.

Sesungguhnya, jika Pemda Sumsel jeli, maka wisata kuliner bisa menjadi komoditi primadona di Palembang. Tengoklah beberapa jenis makanan di Palembang yang begitu populer, selain mpek-mpek tentunya. Mulai dari Mie Celor, Martabak Har, pindang tulang, pindang yang rasanya asam-asam segar karena ditambah nanas, pentung daging (bola-bola daging giling berbumbu abon), brengkes (pepes), sate ikan (gilingan ikan yang dibumbui dan dicampur telur lalu dibungkus daun dan dikukus), dan sambal kemang atau mangga muda.

Tak Terurus

Berdasarkan informasi yang berseliweran di Internet, Palembang memiliki sejumlah obyek wisata yang tak hanya keindahan Sungai Musi. Masih di sekitar Jembatan Ampera, wisatawan dapat melihat museum dan masjid agung yang namanya sama dengan bandara internasional Palembang. Tanpa mengecilkan penghargaan masyarakat dan pemerintah kepada Sultan Mahmud Badaruddin, mungkin nama museum dan masjid agung ini dapat diubah dengan nama tokoh sejarah lainnya.

Saat saya mengunjungi Museum SMB II di siang hari, museum tutup. Saya hanya bias melihat keindahan desain arsitektur museum tersebut. Tangga teratainya indah sangat cocok untuk berfoto. Sayang di sayap kiri bangunan terdapat arca yang kurang terawatt, ditambah sampah yang bertebaran di sekitarnya. Warung/kantin di dekat sana juga sedikit mengurangi keindahan.

Di sekitar jembatan Ampera juga terdapat monument Ampera dan Plaza Benteng Kuto Besak. Selain itu, bagi penggemar wisata sejarah pula mengunjungi kompleks makam raja-raja di Bagus Kuning, Kampung kapiten, Masjid Ki Merogan dan Taman Purbakala Kerajaan Sriwijaya.

Jika berkunjung ke Palembang, ada hal aneh yang tak begitu saya rasakan, yakni nama besar Kerajaan Sriwijaya yang seolah tenggelam. Padahal, dalam buku sejarah, juga kisah-kisah dikaitkan dengan kebesaran nama kerajaan lain di Jawa, misalnya, Kerajaan Sriwijaya sangatlah besar.

Semula, saya berharap dengan bertandang ke Palembang dapat merasakan banyak jejak-jejak Kerajaan Sriwijaya yang naman dikibarkan oleh satu maskapai penerbangan, pabrik pupuk, universitas negeri, dan kesebelasan sepakbola. Sayangnya, kondisi Taman Purbakala Kerajaan Sriwijaya (TPKS) di Palembang, memprihatinkan. Padahal, TPKS bukan sekadar cagar budaya, tetapi juga berpotensi menjadi lokasi wisata air dan rekreasi keluarga. Kawasan TPKS senyap tanpa sarana pendukung rekreasi seperti cendera mata.

“Terbengkalainya TPKS sangat disayangkan. Padahal tempat ini bisa jadi sarana rekreasi keluarga sekaligus tempat belajar sejarah,” ucap Heri, mahasiswa Universitas Sriwijaya.

Padahal, selain bernilai budaya tinggi, TPKS merupakan aset yang dibangun dengan biaya besar. Kawasan itu merupakan rekonstruksi taman Kerajaan Sriwijaya yang terdiri dari beberapa kolam, pulau buatan, dan alur-alur kanal yang menyambung ke Sungai Musi. Beragam peninggalan arkeologis, antara lain prasasti Kedukan Bukit tahun 682 Masehi, ditemukan di situs ini.

Jangan-jangan di masa mendatang, warga Palembang malah tidak tahu bahwa dulunya pernah berdiri kerajaan besar Sriwijaya. Dan menganggap Sriwijaya adalah nama pabrik pupuk semata.

Wisata Malam & Kuliner

Jumlah besarnya wisatawan yang datang, dianggap baik bukan hanya tingkat kunjungan. Mereka juga harus diukur dari lama tinggal berwisata di Palembang. Dan untuk membuat wisatawan betah, maka mereka harus terus disodori atraksi ataupun obyek wisata, termasuk di malam hari.

“Wisata malam di Palembang itu cuma nonton air mancur. Itu pun kadang-kadang lampunya mati,” ucap Wen Xing, warga Palembang. Menurutnya, wisata malam di Palembang agak sulit dikembangkan terkait dengan kriminalitas kota yang rawan.

“Helm di parkiran motor bisa hilang, gimana mau wisata malam? Belum lagi kalau ada keramaian sering ada penusukan. Kesenggol dikit main tusuk. Macam Texas saja,” tambah Wen Xing.

Namun, Wen Xing berpendapat sebenarnya dapat digali potensi malam di Palembang. “Kalau siang wistawan sering kepanasan jalan di Palembang, jadi bisa jalan malam. Misalnya melihat keindahan Musi di malam hari atau wisata kuliner di malam hari. Tapi di Palembang ini tempat-tempat makan cepat tutupnya. Belum pukul sembilan sudah tutup,” kata pengusaha muda yang sering wisata ke kawasan Pagar Alam yang sejuk atau sekalian ke Singapura.

Alhasil, tempat-tempat hiburan malam yang buka tak ada bedanya dengan kota-kota besar lainnya, seperti tempat biliar, karaoke atau arena dugem. Selain menyediakan sarana, sebaiknya pemda bisa bekerjasama dengan kepolisian untuk mennyiapkan pasukan khusus polisi pariwisata seperti di Bandung, Jakarta dan beberapa kota wisata lainnya.

Cara lain untuk membuat wisatawan betah adalah memanjakan perut mereka dengan hidangan khas yang lezat tentunya. Syuku-syukur bila harganya murah.

Di manapun, Palembang sanget dikenal dengan makanan khasnya mpek-mpek. Saya sendiri kagum, karena orang Palembang sangat menyukai mpek-mpek dan variannya. Bahkan sampai di jalan-jalan orang bisa makan mpek-mpek dari penjual gendongan. Tapi benarkah tidak ada makanan lain yang dapat dinikmati wisatawan?

Adalah Martabak HAR yang namanya belakangan begitu popular bagi penggemar jajanan. Kendati di beberapa kota sudah ada tiruannya (di Jakarta ada di kawasan Roxy dan belakanga Gedung Lion), saya penasaran untuk mencicipi langsung martabak Har di Jalan Sudirman itu.

Buat saya pribadi yang tak begitu menyukai telur, makanan ini terasa khas Palembang. Padahal, konon makanan ini asalnya dari India. Memang di India ada makanan sejenis ini brenama papper prata. Tapi hidangan HAR ini sudah diolah sedemikian rupa hingga sesuai dengan lidah orang Melayu.

Dengan harga relative murah di bawah Rp10 ribu, makanan ini bisa menjadi pilihan favorit wisatawan selain mpek-mpek. Malah dapat digembor-gemborkan, belum berkunjung ke Palembang jika belum mencicipi Martabak HAR ini. Cara penyajian yang dicampur kuah dan martabak ataukah dipisah juga sebuah alternatif yang baik. Buat pemula, sebaiknya memang ditawarkan terpisah dulu agar tidak kaget dengan citra rasa kuahnya.

Alternatif lain wisata kuliner adalah Mie Celor 26. Meskipun kedainya amat bersahaja, tapi olahan makanan dari mie dan (lagi-lagi) telor ini sangan potensial mengangkat nama Palembang.

Seandainya tingkat kepedulian pemerintah tinggi terhadap wisata kuliner Palembang, akan lebih baik jika tempat-tempat kuliner diperhatikan dengan baik. Sebaiknya lokasi tidak dipindahkan atau dibuat modern yang malah akan menghilangkan nuansa aslinya, tapi sarana pendukung saja yang dibenahi, misalnya sarana parkir.

Terbitkan Buku

Agar lebih memasyarakat lagi, pemda dapat bekerjasama dengan penulis dan penerbit membuat beberapa buku misalnya tentang kumpulan resep masakan khas Palembang ataupun Sumateraselatan, bisa juga membuat buku tentang legenda dan dongeng-dongeng yang terkait dengan obyek wisata. Sebab tidak sedikit orang yang tertarik mendatangi sebuah tempat karena ada legenda dibaliknya.

Sumateraselatan memiliki banyak warganya yang telah menjadi penulis terkenal. Mengapa tidak diundang atau diminta mereka untuk menulis tentang Palembang?

1 komentar:

infogue mengatakan...

Artikel di blog ini menarik & bagus. Untuk lebih mempopulerkan artikel (berita/video/ foto) ini, Anda bisa mempromosikan di infoGue.com yang akan berguna bagi semua pembaca di tanah air. Telah tersedia plugin / widget kirim artikel & vote yang ter-integrasi dengan instalasi mudah & singkat. Salam Blogger!
http://www.infogue.com
http://www.infogue.com/makanan_minuman/bukan_hanya_musi_mpek_mpek/